PREAHVIHEARHOTEL – Malam Jumat Kliwon selalu dihiasi dengan aura mistis yang menyelimuti pemakaman tua di pinggiran desa. Di malam itulah sekumpulan remaja berani melakukan ritual pemanggilan arwah yang konon dapat menjawab segala pertanyaan: Jelangkung.

Ritual dimulai saat matahari terbenam, menyerahkan kegelapan malam kepada mereka yang berani mengganggu ketenangan alam lain. Remaja-remaja itu berkumpul, membawa boneka jelangkung yang telah disiapkan sebelumnya—tubuhnya dari bambu, kepala dari kelapa, dan rambut dari rafia. Mereka menempatkannya di tengah lingkaran yang terbuat dari kapur dan bunga setaman.

Bintang-bintang bersembunyi di balik awan tebal, seolah menolak menjadi saksi atas apa yang hendak terjadi. Angin berhembus pelan, membawa bisikan yang tidak terjangkau oleh akal sehat, sementara satu per satu dari mereka mulai melantunkan mantera pemanggilan.

“Datang tidak dijemput, pulang tidak diantar,” begitu kata-kata yang diulang-ulang dengan suara yang semakin meninggi.

Boneka jelangkung itu mulai bergerak. Awalnya hanya sedikit, namun lama-kelamaan menjadi semakin kuat. Bukan tangan manusia yang menggerakkannya, melainkan kekuatan tak kasat mata. Tiba-tiba, di antara angin malam yang sejuk, suara dingin terdengar dari mulut boneka itu.

“Saya hadir, apa yang kau inginkan?” suaranya serak, menyentakkan hati mereka yang berani bertanya.

Seorang remaja, yang merasa paling berani, maju dan bertanya tentang nasibnya di masa depan. Jawaban yang diberikan jelangkung tidak hanya mengerikan, tetapi juga sangat pribadi, seolah-olah ia mengetahui rahasia terdalam yang tidak pernah dibagikan si remaja kepada siapa pun.

Ketegangan meningkat, angin menjadi lebih kencang, dan lampu-lampu di sekitar makam mulai berkedip-kedip. Keanehan yang tidak bisa dijelaskan mulai terjadi, bunga setaman layu dalam sekejap, dan suara bisikan menjadi lebih jelas, tidak lagi hanya angin yang berbisik, tapi suara-suara yang tidak dikenali.

Ketika salah satu dari mereka bertanya siapa yang sedang berbicara melalui jelangkung, jawabannya membuat mereka semua membeku. “Saya adalah yang kalian ganggu, yang kalian panggil dari kesunyian abadi.”

Pada saat itulah mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya berbicara dengan satu arwah, tetapi telah membuka pintu bagi banyak yang lain. Permainan yang seharusnya terkendali menjadi liar dan tak terprediksi. Boneka jelangkung mulai bergerak sendiri, berputar-putar dengan cepat, dan suara serapannya menjadi semakin keras.

Dalam kepanikan, salah satu remaja terjatuh, dan lingkaran kapur terputus. Itu sudah cukup untuk memecahkan segel yang mereka ciptakan. Bayangan hitam mulai muncul dari tanah, dan suara ketukan datang dari segala arah, semakin keras dan mendesak.

Para remaja itu berlarian, meninggalkan boneka jelangkung yang masih berputar di tengah lingkaran. Malam itu, mereka belajar pelajaran yang tak terlupakan: ada beberapa pintu yang seharusnya tetap tertutup, dan ada beberapa pertanyaan yang sebaiknya tidak pernah diajukan.

Hingga hari ini, pemakaman tua itu menjadi topik yang dihindari dan jelangkung tidak pernah lagi menjadi permainan bagi mereka yang pernah merasakan horor di malam Jumat Kliwon. Kisah ini menjadi peringatan bagi semua orang bahwa dunia lain yang tidak terlihat oleh mata kasat tidak selalu ingin diganggu.